Candi Tikus
yang terletak di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, bagi sebagian penduduk sekitar dipercayai memiliki unsur
magis dan dapat memberikan kesejahteraan.
Cerita ini bermula dari
seorang petani di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto yang
gelisah karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk
menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa.
Tak
tahan menghadapi serbuan tikus, dia memohon pada Sang Pencipta. Lalu
suatu malam, Si Petani mendapat wangsit agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.
Sebuah
keajaiban terjadi, tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam
hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani
tak kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.
Namun
lain lagi yang dialami oleh saudagar kaya mendengar kabar tentang
khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, sang saudagar mencari jalan
pintas untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, dia mencuri batu candi
dan meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban
terjadi. Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di
sawah.
Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. "Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus,
tapi bukan batu-batu candi," kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih
dipercaya hingga kini. Bahkan Raden Timbal saudara kandung Raden Patah
diyakini pernah melakukan tapa di candi ini.
Di sisi lain, ada
mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914, candi ini
ditemukan oleh Bupati Mojokerto RAA Kromojoyo Adinegoro. Sebelumnya, dia
mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut karena serbuan
hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo
memerintahkan aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang
pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu
lari dan masuk dalam lubang sebuah gundukan besar.
Karena ingin
membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo meminta agar gundukan itu
dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi. Sehingga
Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.
Menurut Mpu Prapanca dalam
kitab Nagarakertagama, candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke
XIII atau abad ke-XIV ini merupakan tempat untuk mandi raja dan
upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya.
Dalam
kitab tersebut pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat pemandian
(petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan yang
menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di
kolam-kolam.
Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang
mengelilingi bangunan induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan
arsitektur abad ke XIII-XIV. Secara tidak langsung bangunan candi itu
dapat diyakini didirikan pada abad ke XIII-XIV. Premis ini semakin
memperuncing kebenaran bahwa yang dimaksud dalam kitab Nagarakartagama
mengenai petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan kolam-kolam yang
dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan prosesi upacara-upacara
tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh NJ
Krom lewat buku "sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe
Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan
memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air, pakar sejarah
kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua
tahap pembangunan candi Tikus.
Tahap pertama, saluran airnya
terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku.
Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan
memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa
keemasan Majapahit.
Ini berarti pula bahwa menurut Krom, Candi
Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak
keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).
Menurut
catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H Maclaine Pont pada
1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun
pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar di seluruh Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur).
Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah
diantaranya terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir,
Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat
penampungan air pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat
lain.
Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan,
Waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke Candi
Tikus. Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka
arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm Didiek
Samsu WT selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata
dari pancuran-pancuran air di Candi Tikus adalah 17.604.915 cm/detik.
"Berdasarkan
perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa Candi Tikus pada masa itu
memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah
Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya.
Alm Didiek
menyatakan bahwa air Candi Tikus juga bisa dijadikan patokan musim
kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-rata
setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/detik. Sedangkan jika
lantai dasar Candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan
air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang.
Ini
berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di Candi Tikus akan naik,
sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di
waduk atau bendungan.
Sejak zaman prasejarah, air memang memiliki
peranan penting dalam kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya
memiliki daya magis utnuk membersihkan, mensucikan dan menyuburkan.
Wednesday, December 9, 2015
Tuesday, December 8, 2015
WISATA SUMBERBOTO MOJOWARNO JOMBANG
Wisata sumberboto,pemandian tinggalan kerajaan majapahit
Sekitar tujuh kilometer dari arah kota Kecamatan Mojoagung, terdapat sebuah monumen dan pemandian bernama Sumberboto, karena terletak di Desa Sumberbotokecamatan mojowarno. Di sana terdapat ‘saksi sejarah’ yang, konon, dikabarkan sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, jadilah tempat itu sebagai sarana rekreasi bagi keluarga.
Melihat lokasinya yang mudah terjangkau, sekitar tujuh kilometer dari arah Kota Kecamatan Mojoagung, atau sekitar 20 kilometer dari Kota Jombang, Sumberboto sebenarnya memiliki prospek menjanjikan. Jalan setapak menuju ke sana pun cukup representatif.
Dalam sehari, sedikitnya puluhan bahkan ratusan wisatawan datang ke lokasi yang, konon kabarnya, merupakan salah satu bukti peninggalan Kerajaan Majapahit itu. Daya tarik bagi pengunjung, selain terdapat dua lokasi pemandian, satu untuk anak-anak dan satu lagi untuk umum, juga dibangun beberapa sarana bermain.
Di sekelilingnya ditumbuhi beragam tanaman rindang nan hijau, yang berfungsi menaungi lokasi wisata. Dan yang tak kalah menariknya, di sekitarnya juga bisa dimanfaatkan sebagai arena perkemahan umum dan pelajar.
Representatif
Dua kolam renang yang ada di wisata Sumberboto, sebenarnya cukup representatif bagi sebuah tempat rekreasi. Karena beberapa sarana yang.dibutuhkan tersedia kendati tidak mewah, seperti kamar mandi yang berfungsi untuk membersihkan badan usai berendam di kolam
.
Airnya yang bening mengalir deras dari pegunungan sekitar, membuat pemandian ini banyak disukai pengunjung. Sarana tempat bermain untuk anak-anak pun, secara fisik, memang tidak semewah di tempat rekreasi ternama lainnya. Tetapi nyatanya selalu ‘dikerumuni’ pengunjung anak-anak
.
Dan, yang tak kalah menariknya adalah tersedianya lokasi parkir yang sangat bagus, lebih dari rasa aman. Berdasarkan data yang masuk, sejak lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat wisata umum, tampaknya belum pernah sekalipun terjadi pencurian kenadaraan bermotor milik pengunjung. Dan rupanya hal tersebut lebih disebabkan karena sistem penjagaan yang ekstra ketat dari para petugas yang ditunjuk.
Anda penasaran dengan sumberboto,silakan berkunjung ke tempat ini,tiket masuk murah dan dijamin anda puas bersama keluarga,.....................................
Subscribe to:
Posts (Atom)